Pemilih usia muda adalah penyumbang suara terbesar dalam Pilpres 2024 nanti. Ketahui berbagai alasan mereka untuk mengikuti pemilu tersebut melalui diskusi Webinar Series Yang Muda Punya Selera, diselenggarakan Kamis 10 November 2022 di Auditorium Universitas Sahid dan Live Streaming via YouTube: @S84 Channel, kolaborasi dengan @Kairos Entertainment @DeFM dan Channel @Fordes Adventure.
Diskusi Voter Appropriation; “Kenapa Anak Muda Ikut Pemilu”, menghadirkan Narasumber: Dr. Pinckey Triputra (Peneliti dan dosen senior Universitas Indonesia). Sebagai Pemantik : Dr. Andi Mirza Ronda (Dekan Fikom Usahid); Dr. Rewindinar (Alumni Doktor Ilmu Komunikasi Pascasarjana Usahid); Yadi Kusmayadi, MM (Candidat Doktor Ilmu Komunikasi Pascasarjana Usahid dan Khairul Syafuddin, MA (Dosen Fikom Usahid). Guest Host: Dr. Des Hanafi (Alumni Doktor Ilmu Komunikasi Pascasarjana Usahid).
Jumlah pemilih muda di Indonesia pada Pemiu 2019 sekitar 47% atau sekitar 70 juta (KPU, 2022). Jumlah ini relatif cukup besar. Dalam Pemilu 2019, dan dari jumlah tersebut, sekitar 40% tidak datang ke bilik pemungutan suara untuk memilih. Studi di berbagai negara juga menunjukkan rendahnya partisipasi anak muda dalam pemilihan umum (Symonds, 2020). Persentasi tahun 2019 tersebut, mirip dengan jumlah pemilih muda yang mengikuti pemilu di AS pada tahun 2016, yaitu sebesar 46%. Fenomena ini cukup menarik untuk diamati, paling tidak seperti yang dilakukan Alexandria Symonds (2022) yang meneliti pemilih muda di 24 negara.
Mengutip dari Charles Merriam dan Harold Gosnell, Symonds mengidentifikasikan beberapa faktor yang berhubungan dengan rendahnya anak muda dalam mengikuti pemilu, yaitu habit formation, opportunity cost dan alternative participation atau citizen activism. Citizen activism ini sangat berkorelasi dengan hadirnya media sosial yang sering digunakan untuk political engagement. Teknologi komunikasi ini sangat memfasilitasi political engagement anak muda, karena memberikan berbagai kemudahan bagi anak muda untuk akses politik. Political engagment melalui media sosial ini menjadi sebuah ruang tempat mereka mengekspresikan pedapat dan sikapnya. Misalnya, berbagai issue politik seperti structural factors, personal factors, organisation factots dan violence related election, menjadi issue yang banyak disoroti oleh kaum muda (UNDP, 2012)(World Youth Report, 2007).
Pendekatan teoretikal dalam topik anak muda dan politik elektoral ini sangat dibutuhkan untuk dapat lebih memahami mengapa partisipasi anak muda cenderung rendah. Penelitian yang dilakukan Symonds lebih banyak dilihat dari perspektif politik. Namun untuk memahami lebih jauh mungkin saja harus dilihat sisi lain dalam realitas anak muda saat ini. Teknologi komunikasi atau media sosial yang berkembang, merupakan faktor eksogen bagi munculnya orientasi selera anak muda.
Media sosial, alih-alih menjadi aparatus politik anak muda dalam merespon keganjilan politik menurut mereka, media sosial justru menggiring anak muda ke arah penguatan dominasi pihak yang berkepentingan. Media sosial sudah menjadi aparatus penting yang tidak dapat dipisahkan bagi sebuah “Consciousness Industry” (Enzenberger, dalam McGuigan, 2014). Optimisme bahwa media sosial dapat mendorong partisipasi politik justru mengalihkan kepada selera yang populer. Klaim-klaim tersebut justru tidak menunjukan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Teori bahwa media soaial mendorong partisipasi seperti yang diajukan Symonds justru memperlihatkan False Appearance anak muda. Hal ini juga dinilai sebagai faktor yang membuat kaum muda tidak antusias dalam mengikuti proses politik elektoral, karena terjadi orientation bias.
Diskusi yang berlangsung menarik ini, membahas topik secara prediktif dan eksplanatif, yaitu untuk memilah faktor-faktor (prediktor) apa saja yang mungkin dijadikan penentu bagi munculnya preferensi dan partisipasi politik elektoral anak muda. Dan untuk memberikan interpretasi makna dari preferensi politik dan capres pada pemilu yang lalu.